Sabtu, 12 Januari 2008. Pagi-pagi tanggal 21 Juni 1970 saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas semuanya bermuka murung dan ada yang matanya penuh airmata akan tetapi bersinar dengan garang, kelihatan roman muka yang marah. Ya, sayapun marah hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.
Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum yang secara luas, keinginannya amat jelas agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat {asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di kota Bogor }.
Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula Pemerintah mengambil keputusan agar dimakamkan di kota Blitar, menyebutkan sebagai tempat kelahirannya. Saya menilai hal ini adalah sebuah keputusan yang amat ceroboh. Bung Karno, yang kita bicarakan ini, terlahir di Surabaya di daerah Pasar Besar [bukan di Kota Blitar] dengan nama Koesno dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya, istrinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.
Makam kedua orang tuanya ini akhirnya ditempatkan bersama-sama dengan para pahlawan yang gugur membangun dan mempertahankan Indonesia . Taman Makam Pahlawan ini bernama SENTUL dan menjadi tujuan di mana pemakaman Bung Karno akan dilaksanakan.
Maka setelah matahari sudah tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak. Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri berdesak-desakan disamping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Huh?? Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, di sebelah Utara kota Malang . Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: "There goes a very great man!!" Maka pergilah seorang yang hebat luar biasa!! Saya amat terharu mendengarnya, apalagi melihat ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno kita, Bung Karno-ku, terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau, Putra Sang Fajar (julukan ini digunakan karena Bung karno lahir pada waktu fajar sedang menyingsing) . Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari Bali . Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalaupun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman / makanan apapun yang bisa ditelan.
Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit. Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar. Sejarah mencatat bahwa sejak tahun 1971 sampai dengan 1979 makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi oleh umum, dan dijaga oleh tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta ijin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan ijin mengunjungi makam? Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi ijin dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka stoned face- muka yang seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua OKAY dan kami mendapat sepucuk surat . Apa yang terjadi?
Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat ijin dari "malaikat KODIM" itu, menunjukkan kepada tentara yang menjaga makam. Waktu kumpeni (sebutan umum kalau sedang jengkel terhadap tentara) ini membaca suratnya, saya terdorong untukmenoleh ke arah belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya sekitar tiga meter. Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa diantara mereka menjabat tangan dan malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih (segan, malu dan salah tingkah bercampur-aduk) . Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.
Saya ketik ini pukul: 10:36:04 malam, datang telepon seorang teman menanyakan saya sedang apa. Saya katakan saya sedang berada di depan komputer. Dia bilang di TV sedang disiarkan detik-detik terakhir. Saya balas bertanya apa maksudnya? Sebelum dia sempat menjawab, pikiran saya segera sadar bahwa yang dimaksud tentunya mengenai "pahlawan" jenderal berbintang lima : Suharto. Ditayangkan kesibukan di Rumah Sakit Pertamina di Jalan Kyai Maja di Kebayoran Baru. Mulai penayangan kesibukan petugas keamanan, petugas dari media dengan alat-alat perekamnya berupa kamera photo maupun kamera video. Pakai jas putih berderet-deret dari kiri ke kanan dan dari belakang ke depan, para dokter. Diantara para dokter itu saya kenali satu orang tetapi hati saya tetap geli karena saya kok seperti berada di dalam ruangan tokoya san-barber-tukang cukur rambut.
Lepas dari beberapa pernyataan para dokter yang dihiasi dengan penggambaran mengenai kondisi sang jenderal berbintang lima buah masing-masing di kiri dan di kanan, secara detil memberikan gambaran organ ini dan itu, alat-alat serta status kondisi medisnya. Obat apa yang kiranya yang diaplikasikan dan konon ada cerita yang menyebutkan adanya pembelian alat scan baru untuk kegiatan upaya memanjangkan umur. Kata rumor sih harganya satu juta USDollar. Wallahualam. Empat puluh dokter Tim Medis, untuk kesembuhan satu orang jenderal ditambah pembelian alat baru yang sekian, berapakah kiranya jumlah biaya seluruh upaya seperti ini yang ditanggung oleh uang rakyat ?
Alangkah beda sekali. Beda sekali dengan Bung Karno. Seperti bumi dengan langit!! Kami sudah mendengar bahwa Bung Karno sakit sejak lama. Berita bagaimana keadaannya tidak dapat diakses oleh orang kebanyakan. Bung Karno kita yang ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto, dikhabarkan amat menderita. Anak-anaknya tidak dapat bebas mengunjunginya dan kemudian sekali saya mengetahui dari kisah-kisah mereka, banyak resep dokter Mahar Mardjono hanya ditumpuk di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di aitu tidak pernah ditukarkan dengan obat, itu berarti tidak pernah diaplikasikan kepada sang pasien, Bung Karno yang kita cintai.
Pada tahun 1988an saya berkenalan dengan seorang pensiunan Polisi Militer. Karena sesuatu keperluan saya pergi ke rumah pak Djajadi, seorang pelaksana pekerjaan di lingkungan PT Ancol. Rumahnya di daerah Bungur, dekat daerah Senen / Kemayoran, di mana sang pensiunan CPM itu tinggal. Dia menunjukkan kepada saya sebuah pena yang diterimanya karena diberi oleh Bung Karno waktu menjaga Bung Karno yang sedang ditahan di Wisma Yasso. Dia diberitau bahwa pena itu adalah yang dipakai sebagai pena yang menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret.
Dia bercerita demikian sambil matanya berkaca-kaca karena rasa haru dan dia memberitaukan bahwa Bung Karno itu manusia yang baik hati. Ini dia katakan karena beliau mau memberikan sebuah kenangan benda bersejarah seperti itu kepadanya, sebagai kenang-kenangan, karena tidak mempunyai apapun lagi yang bisa di berikan kepadanya.
Tidak lupa dia menceritakan sesuatu yang tidak saya duga-duga sebelumnya. Dalam pergaulannya selama berbulan-bulan menjaga beliau itu, Bung Karno mengatakan kepadanya bahwa Surat Perintah Sebelas Maret itu telah dipakai dan disalahgunakan oleh penerimanya dengan menumpangkan kepentingannya sendiri. Dia akhiri dengan: "Saya selaku seorang anggota militer hanya bisa menjalankan tugas yang dibebankan kepada saya, meskipun tindakan saya selama bertugas itu banyak bertentangan dengan hati nurani saya sendiri.
Kalau mengenai kondisi seperti ini Presiden yang sedang berkuasa tidak mengetahui, maka itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Saya kira pendukungnya, terutama yang sekarang, saat ini, sedang membelanya mati-matian, tentu tau ungkapan terkenal: Tidak ada seorang prajurit yang salah. Yang salah adalah Komandan mereka!! Banyak nian orang Indonesia yang mengetahui hal-hal seperti ini tidak berani, tidak sempat dan terhalang untuk menceritakannya kepada orang lain, sehingga sejarah tidak dapat hadir dengan utuh kepada rakyat Indonesia . Sejarah banyak diberi kosmetik dan diputar dan dibalik sekehendak penguasa. Itulah sebabnya selalu saya ulangi bahwa ejaan dalam bahasa Inggris untuk kata sejarah adalah HISTORY dengan satu huruf s, bukan dua buah: HISSTORY yang bisa dipisahkan menjadi HIS STORY (Cerita Dia).