From: Haryono <hary-n@centrin.net.id> Sent: Wednesday, 16 January, 2008 11:32:32 AM Subject: Krisis Harga- Pedagang Gorengan Memilih Bunuh Diri
Ketahuan deh sifat asli rezim SBY-JK, udah tahu bentar lagi pemilu 2009, gak mo kerja lagi, rakyat di biarin, mungkin mrasa gak bakal kepilih lagi kale. Tahun 2008 politisi lebih suka sibuk tebar pesona politik buat pemilu 2009 ketimbang ngurusin rakyat. Komentar mreka ampe skarang adem ayem aja, tapi giliran dana subsidi DPR di ungkit ungkit, suara parpol kenceng banget, takut duit nya di balikin ke kas negara, kayak ada yg ngatur. tapi klo urusan rakyat, boro2x dah. No money? Kelaut aje, gitu kali pikiran mreka.
Menyedihkan sekali deh.. :-<
*Rabu, 16 Januari 2008 *
Krisis Harga, Pedagang Gorengan Memilih Bunuh Diri
Beberapa ibu rumah tangga sibuk menata kue di rumah Nuriah (40) di Kampung Cidemang, Kelurahan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Banten, Selasa (15/1) siang. Ibu-ibu itu menyiapkan makanan untuk acara doa bersama berkait meninggalnya Slamet (45), suami Nuriah.
Sehari sebelumnya, suami Nuriah nekat gantung diri hingga tewas di sebuah kamar kosong di rumahnya. Jasad Slamet pertama kali ditemukan oleh istrinya yang baru pulang dari berbelanja di Pasar Badak, Pandeglang. Tubuh ayah empat anak itu sudah menggantung di tengah kamar, dengan seutas tali plastik melilit di lehernya.
Sehari-hari Slamet bekerja sebagai pedagang gorengan di Pasar Badak, tepatnya di tepi Jalan Raya A Yani. Belakangan ini, kata istrinya, pendapatannya semakin menurun.
Slamet tambah tertekan saat minyak tanah sulit didapat dan harganya melambung. Apalagi kenaikan harga minyak tanah bersamaan dengan melonjaknya harga sejumlah bahan pangan, seperti tepung terigu, tepung tapioka, tahu, tempe, sayuran, dan minyak goreng.
Empat hari sebelum meninggal, Slamet pernah mengeluh kepada beberapa wartawan yang datang untuk menanyakan dampak kelangkaan minyak tanah dan kenaikan harga. Ia mengatakan terpaksa membeli minyak tanah dengan harga Rp 3.500 hingga Rp 4.000 per liter.
Setiap pagi sebelum berjualan, ia mengambil 2-3 liter minyak tanah di warung milik Enjen. Slamet baru membayar minyak tanah pada malam hari, sepulang berjualan. Namun, menurut Enjen, beberapa waktu terakhir Slamet memang mulai kesulitan membayar minyak tanah.
Kondisi itu membuat Slamet merasa berat untuk melanjutkan usaha berdagang gorengan. Keluhan serupa juga pernah disampaikan Slamet kepada Ustadz Nurdin, tokoh masyarakat setempat.
Nurdin menceritakan, sebelum Slamet bunuh diri, ia pernah mengeluh selalu merugi. "Modal yang dikeluarkan Rp 50.000 sehari, tetapi pendapatannya cuma Rp 35.000," katanya.
Bisa jadi beban pedagang gorengan itu bertambah berat karena semua harga bahan baku gorengan melonjak. Saat ini harga minyak goreng di Pasar Badak mencapai Rp 11.500 per kilogram, harga tepung terigu menjadi Rp 7.000 per kilogram, dan harga tepung tapioka Rp 3.800 per kilogram.
Harga bahan baku gorengan lain, seperti tahu dan tempe, juga naik, bahkan sulit didapat kan akibat harga kacang kedelai melonjak di pasaran.
Di Pasar Badak, tempat Slamet biasa berbelanja bahan baku, tahu berukuran sedang yang sebelumnya dijual Rp 500 sekarang menjadi Rp 750 per potong. Begitu pula harga tempe berbagai ukuran, naik rata-rata Rp 500 dari harga sebelumnya.
Dugaan bahwa Slamet bunuh diri karena tekanan ekonomi diperkuat hasil visum di Rumah Sakit Umum Daerah Pandeglang. "Tidak ditemukan adanya bekas kekerasan fisik sehingga kasus itu murni merupakan bunuh diri. Besar kemungkinan penyebabnya adalah tekanan ekonomi," ujar Kepala Kepolisian Resor Pandeglang Ajun Komisaris Besar Mamat Surahmat.
Slamet bukan satu-satunya warga masyarakat yang menjadikan gorengan sebagai tumpuan hidup sehari-hari. Ada ribuan warga yang berharap bisa melanjutkan hidup dengan berdagang gorengan. Namun, jika harga bahan baku terus melonjak, apakah tidak mungkin ada warga lain yang menjadi senekat Slamet: memilih bunuh diri karena putus asa melihat harga bahan pangan yang semakin tak terjangkau.
*Warteg juga terancam*
Di Jakarta, kemarin, sejumlah warung nasi, terutama warung tegal (warteg), diwarnai kekesalan pelanggan yang kehilangan lauk kesayangan mereka, orek (irisan kecil tempe goreng berbumbu yang dipotong memanjang, bercampur sedikit irisan cabai merah).
Di lingkungan penggila warteg, orek memang hampir identik dengan warteg. Di samping murah meriah, cuma Rp 1.000-Rp 1.500, sebagai pendamping nasi, orek memang enak.
"Saya sudah 35 tahun jualan nasi, tapi baru sekarang saya tak bisa menyajikan orek karena tempe menghilang dari pasar tiga hari ini," kata Mu'min, pemilik Warung Nasi Ojo Lali, yang berlokasi di Jalan Melati, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.
Ketika kerusuhan Mei 1998, menurut dia, tempe dijatah, masing-masing cuma dapat lima bantal tempe. "Zaman perang, zaman Bung Karno, zaman geger G30S, zaman Pak Harto, enggak pernah tempe sampai hilang seperti sekarang," katanya.
Kebetulan warungnya mengandalkan tiga menu, orek, soto betawi, dan bakwan udang. Setiap hari warungnya yang buka pada pukul 10.00-20.00 menghabiskan antara lain tempe 15 bantal, tahu besar 15 potong, tahu kuning 30 potong, beras setengah kuintal, dan minyak tanah 30 liter.
Karena menu orek absen, jumlah pelanggannya tiga hari belakangan berkurang, dari sekitar 250 orang setiap harinya menjadi 100 orang.
"Menu lain boleh mewah, tapi enggak laku kalau enggak ada orek. Ambil orek dulu, baru menu tambahan lainnya," ucap Mu'min.
"Padahal sebenarnya, meski dengan harga tinggi, kalau tempenya ada, pasti saya beli karena pelanggan saya tidak keberatan harga orek naik," katanya menambahkan.
Mu'min berniat menutup warungnya kalau produk tempe dan tahu menghilang lebih dari seminggu, atau jika harga minyak tanah mencapai Rp 7.000 per liter. "Semua pemilik warteg pasti punya niat yang sama dengan saya," tuturnya